Selasa, 16 Agustus 2011

Ramadhan dan Kemerdekaan


Peringatan hari kemerdekaan Indonesia ke-66 tahun ini, 17 Agustus menjadi istimewa karena bertepatan dengan 17 Ramadan. Misteri angka 17 dalam konteks ini, bukanlah semata sebuah kebetulan, tetapi memiliki jejak historis.
Naskah proklamasi yang dibacakan Soekarno-Hatta sebagai tonggak awal kemerdekaan negeri dari penjajah, tepat hari Jumat, 17 Agustus 1945 bertepatan dengan 17 Ramadan. Dalam Ramadan diperingati nuzulul Quran tanda pertama kali ayat-ayat Al Quran diturunkan pada malam 17 Ramadan. Lalu apa arti angka 17 tersebut dalam konteks beragama dan bernegara sekaligus? 

Pertama, kehadiran bulan suci Ramadan yang di dalamnya diturunkan Al Quran, sejatinya dijadikan momentum untuk melakukan perenungan, baik personal maupun kebangsaan, untuk menata diri lebih baik dengan menumbuhkan rasa nasionalisme. Islam mengajarkan, cinta tanah air bagian dari iman.
Ramadan hadir dengan segala kemuliaannya memberi ruang untuk totalitas ibadah menuju terbentuknya pribadi yang paripurna, bertaqwa. Sosok pribadi mukmin yang bertaqwa senantiasa memelihara dirinya untuk selalu melakukan kebaikan dan menghindari keburukan, termasuk sikap korup dan rakus dengan mengambil yang bukan haknya.
Pada titik inilah, Al Quran yang pertama kali diturunkan pada 17 Ramadan pada masa Nabi Muhammad itu, mesti dijadikan petunjuk bagi manusia dalam menata perilakunya. Jika kaum beragama mengabaikan pesan-pesan ilahi tersebut maka niscaya mengalami disorientasi. Seorang yang dangkal pemahaman agamanya memungkinkan melakukan penyimpangan-penyimpangan sehingga bisa menyalahgunakan kekuasaan yang diamanahkan baginya.

Kedua, peringatan hari kemerdekaan di bulan Ramadan dalam hitungan tanggal 17 secara bertepatan, tentu dapat dimaknai perlunya mengintegrasikan nilai-nilai agama dan konteks bernegara. Relasi agama dan negara menjadi erat dengan membentang garis demarkasi antara keduanya secara tepat. Bukan negara agama yang diimpikan tetapi warga negara yang taat pada agamanya yang diharapkan.
Hal ini relevan di tengah karut marutnya kehidupan umat manusia dalam pelbagai lini, hampir tidak menyisakan asa. Maka kehadiran ramadan disambut untuk menata pikiran hingga perilaku. Betapa kini masyarakat diperhadapkan pada realitas-realitas paradoksal.
Harapan mewujudkan good governance dengan meminimalisir penyimpangan kaum koruptor, tiba-tiba petinggi negara mengkhotbahkan untuk membubarkan KPK sebagai lembaga yang semula didedikasikan untuk mengontrol aksi kaum koruptor. Upaya pelemahan lembaga tersebut kian memiriskan karena disadari aksi koruptor yang melahirkan kemiskinan sistematis.

Puasa-Kuasa
Ramadan menjadi tepat untuk melakukan perenungan atas segala hal itu, tidak terkecuali ihwal integritas nasionalisme anak bangsa yang juga dituntut taat beragama. Puasa di bulan Ramadan memiliki makna menahan diri dari hal-hal yang sangat diinginkan sekalipun.
Namun bisakah kaum politisi menahan diri untuk tidak melakukan propaganda politik untuk kepentingan mengejar kekuasan? Nampaknya sesuatu yang sulit. Nyatanya sepanjang jalan masyarakat disuguhi pesan-pesan politik terbingkai pesan agama. Aura politisasi agama kian menyeruak.
Puasa dan kuasa menyatu meski tidak senyawa. Puasa mengasah spiritualisasi personal menjadi lebih baik, sementara kuasa adalah penghujung jalan pengejar kekuasan politik untuk kermaslahatan bangsa. Namun cita puasa yang melahirkan pribadi jujur sulit diwujudkan jika berkubang dalam kekuasaan yang cenderung menyimpang.
Menyikapi realitas tersebut, makna kemerdekaan yang sejatinya mengantarkan rakyat kepada kehidupan lebih aman, adil dan sejahtera tidak terwujudkan. Justru ditemukan titik paradoks, betapa negara yang telah 66 tahun menyatakan kemerdekaannya, justru mengungkung jutaan rakyat dalam belenggu kemiskinan.
Kaum penguasatanpa mampu memaknai puasa sebagai proses menahan diri dari kehidupan glamor, membelanjakan uang rakyat untuk kepentingan pribadi, kekuarga, dan partai. Tampkanya kemerdekaan masih sebatas simbolik yang diperingati setiap tahunnya sebagai selebrasi dan seremoni belaka.
Sebab di mana letak kemerdekaan rakyat jika penguasa tetap menancapkan hegemoninya atas nama kebijakan. Sementara itu, pasar global yang memberi ruang bebas bagi kapitalis dunia menjarah di negeri yang belum berdaya, belum memiliki daya saing memadai. Sungguh sebuah paradoks.

Merdeka Simbolis?
Jika momentum Ramadhan ini dikaitkan dengan perayaan hari kemerdekaan, perlu dilakukan renungan untuk solidaritas sosial dan kecintaan kepada rakyat. Ibadah Ramadhan diharapkan mampu melahirkan pribadi yang berperilaku untuk kemaslahatan rakyat, terutama bagi para penguasa.
Kesadaran ini penting ditengah realitas tercipta setting social propagandis yang menjauhkan rakyat dari harapan yang meyakinkan. Ketika idealitas puasa meniscayakan kejujuran, di kutub lain dipertontonkan kasus korupsi Nazaruddin yang kemungkinan menyeret sejumlah pihak, setidaknya jika tidak dilakukan deal-deal politik di kalangan elitenya.
Proses untuk dapat memaknai kehadiran Ramadhan bertepatan peringatan kemerdekaan, didasari dari sebuah pijakan asa dimana puasa menanamkan nilai kejujuran. Kejujuran, terutama bagi penguasa, menjadi tonggak terbangunnya keadilan dan kesejahteraan rakyat. Betapa puasa menjadi ibadah multi dimensi. Selain sebagai ibadah untuk mendekatkan diri pada Allah, juga memiliki dimensi sosial dan kemanusiaan.
Dimensi solidaritas sosial yang menjadi bagian spirit puasa, semestinya dijadikan renungan guna mewujudkan keadilan sosial. Hal ini dapat direalisasikan dengan optimalisasi zakat yang dibagi rata untuk mensejahterakan kaum dhuafa meski dalam waktu terbatas. Namun dalam konteks negara, distribusi pajak untuk pemerataan pembangunan guna menyejahterakan rakyat miskin dalam waktu yang berkesinambungan.
Memaknai kemerdekaan dalam bulanRamadhan tidak terlepas dari kesadaran bahwa negara yang dibangun atas dasar kesadaran beragama melahirkan kaum nasionalis dan agamawan sekaligus. Keroposnya bangunan nasionalisme seorang koruptor karena imannya ditanggalkan pada menara masjid.
Masjid terkadang didatangi untuk sosialisasi diri demi langgengnya kekuasaan, dalam permak safari Ramadhan, bukannya untuk mendekatkan diri pada sang khalik dengan mengakui dosa-dosanya yang menelantarkan jutaan orang akibat perilakunya yang menyimpang dalam mengelola kekuasaan tanpa pijakan iman.
Syahdan, Ramadhan sejatinya menjadi momentum menyemai relasi puasa dan kuasa dengan melakukan transformasi personal untuk kemaslahatan rakyat, penguasa melakukan perbaikan dengan kekuasaannya bukan sebaliknya, sehingga kemerdekaan menjadi milik bersama, bukan sebatas simbolik belaka.
Di sinilah kemerdekaan yang diperingati dalam suasana Ramadhan akan memiliki arti jika keadilan merata untuk kesejahteraan dan kemaslahatan rakyat.

Tidak ada komentar: